Tutur merupakan sistem atau istilah kekerabatan pada orang Gayo. Seperti piut (cicit), kumpu (cucu), anak (anak), ama (bapak), ine (ibu), awan (kakek), anan (nenek), datu (orang tua datu), empu (orang tua datu), munyang (orang tua empu), entah (orang tua munyang), rekel (orang tua entah), titok/keleng (orang tua rekel).
“Tutur juga sebagai jalur penghubung untuk menguatkan ikatan kekerabatan dalam masyarakat Gayo,” kata Yusradi Usman al-Gayoni yang jadi narasumber “Bincang Budaya” dengan tema Tutur Gayo secara daring melalui Zoom Meeting, Rabu malam (12/6/2022)
Lebih lanjut dijelaskan penulis buku “Tutur Gayo” itu terkait pengertian tutur, tutur juga merupakan panggilan atau sebutan terhadap seseorang yang terikat karena pertalian darah, keluarga, umur, penghormatan, sahabat, teman akrab atau teman biasa.
“Be tutur sendiri, orang yang yang menggunakan tutur, sistem, bentuk-bentuk atau istilah kekerabatan tadi. Tutur Gayo, aku pemilik penerbit Mahara Publishing itu, sangat kaya sekali. Dari sisi jumlah, makna, filosofi, dan nilai yang dikandunginya,” sebutnya.
“Sebelum sidang tesis tahun 2010, saya sempat menunjukkan hasil penelitian dan tesis saya kepada pakar terjemahan dari Inggris yang ikut mengajar di USU, Roger T. Bell. Beliau sampai geleng-geleng kepala, melihat kayanya tutur Gayo,” ungkap Yusradi.
Yusradi meneliti tutur Gayo (2008-2010) untuk keperluan tesis Program Studi Magister Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. “Dari hasil penelitian dan tesis ini kemudian saya bukukan.
“ Alhamdulillah, makin banyak bahan yang dapat dari pembaca setelah bukunya terbit dan beredar, tahun 2012. Jadinya, makin lebih lengkap. Bahkan, sudah cetak edisi kedua, tahun 2014. Termasuk, terbit tutur Gayo Lues edisi pertama, tahun 2015. Mudah-mudahan bisa terbit edisi berikutnya,” harap Yusradi.
Kegiatan Bincang Budaya “Tutur Gayo” Pusat Kajian Kebudayaan Gayo ini dimodetarori Desy Arigawati (Dosen Universitas Panca Sakti Bekasi), Master of Ceremony Husna Mahyana (siswi II SMK Negeri 1 Takengon), dan pembacaan puisi oleh Nadhira Luqyana Hamdani (siswi kelas II SDI Al Azhar Kembangan Jakarta).
Kehadiran tutur dalam masyarakat Gayo tidak terlepas dari persoalan-persoalan sosial. Hal itu disampaikan Yusradi Usman al-Gayoni, narasumber Bincang Budaya “Tutur Gayo” Pusat Kajian Kebudayaan Gayo yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting, Rabu malam (15/6/2022).
“Tutur terbentuk melalui perkawinan. Dari situ, lahir anak. Anaknya kemudian bertutur Ama (Bapak) atau Ine (Ibu) kepada kedua orang tuanya. Demikian adik ke Abang atau kakaknya, bertutur Abang, Aka. Abang atau Kakak bisa manggil nama, Win (panggilan kepada anak laki-laki) atau Ipak (panggilan kepada anak perempuan) ke adiknya,” kata Yusradi.
Begitu juga, sambung peneliti tutur Gayo untuk keperluan tesis Sekolah Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2008-2010 itu, ke keluarga yang lebih besar. “Dari keluarga inti, ke keluarga yang lebih besar. Ada Awan (Kakek) dan Anan (Nenek). Lalu, Datu (orang tuanya Awan dan Anan), Empu (orang tuanya Datu) ke atas. Ada hubungan darah, tali keluarga, sehingga saling bertutur. Ada tutur atas (yang dituturi lebih tua dan lebih tinggi posisinya dalam tutur keluarga). Ada tutur renah (yang dituturi lebih rendah posisinya dalam keluarga).
Lebih luas, satu kuru, satu belah (klan). Tutur dari keluarga Ama (pedih) dan keluarga Ine (ralik/alik) juga berbeda, seperti Ama Kul, Ama Lah, Ama Ecek, Ama Ucak untuk saudara laki-laki Ama dan Pun untuk saudara perempuan ibu. Kemudian, Ibi saudara perempuan Ama dan Uwe, Encu untuk panggilan saudara perempuan Ibu,” sebut Yusradi.
Dilanjutkan pendiri/pengelola Perpustakaan Gayo itu, tutur juga terjadi saat komunikasi dan interaksi antara penutur dengan lawan tutur (yang dituturi) dalam masyarakat.
“Yang muda bertutur atas ke yang lebih tua, tutur Abang, Ama, Pun. Sepantaran, bisa manggil nama. Ke yang lebih muda, bisa langsung memanggil nama, Win (panggilan untuk anak laki-laki) atau Ipak (panggilan untuk anak perempuan),” sebutnya.
Di samping itu, sambung pengkaji Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) tersebut, karena terjadi perkelahian, sehingga bersaudara, jadi satu keluarga (biak sebut). Juga, terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, membantu seseorang, dan mengadopsi anak.
“Terjadinya tutur bisa di keluarga karena perkawinan dan hubungan darah/keluarga. Juga, di luar keluarga saat komunikasi, interaksi, dan terjadi peristiwa-peristiwa sosial tadi,” tegas Yusradi.
Kegiatan Bincang Budaya “Tutur Gayo” Pusat Kajian Kebudayaan Gayo ini dimodetarori Desy Arigawati (Dosen Universitas Panca Sakti Bekasi), Master of Ceremony Husna Mahyana (siswi II SMK Negeri 1 Takengon), dan pembacaan puisi oleh Nadhira Luqyana Hamdani (siswi kelas II SDI Al Azhar Kembangan Jakarta).